POLMAS DAN KETRAMPILAN NONLITIGASI
OLEH
I GUSTI NGURAH SUTARKA,SH.
Perkembangan
sosial, budaya, ekonomi dan politik yang sangat pesat serta berbagai dampak
globalisasi pada masyarakat menimbulkan masalah yang semakin kompleks dan
meluas, yang sangat mungkin terjadi di berbagai tempat. Perkembangan ini
menuntut pemecahan masalah dan
penanganan yang cerdas, kreatif dan cepat yang tidak mungkin dapat diatasi
sendiri oleh Polri kecuali dengan partisipasi dan bantuan warga masyarakat.
Untuk itu diperlukan ketrampilan anggota Polri selaku pengemban fungsi Polmas.
Berikut akan kami coba uraikan bentuk kegiatan penerapan Polmas Persfektif
Ketrampilan Nonlitigasi.
Pada Pasal 14 Perkap No. 7 Tahun 2008
tentang Pedoman Dasar Strategi dan Inplementasi Pemolisian Masyarakat dalam
Penyelenggaraan Tugas Polri :
Bentuk-bentuk
kegiatan dalam penerapan Polmas antara lain :
a. kegiatan
pelayanan dan perlindungan warga masyarakat :
1). Intensifkan
kegiatan pembinaan masyarakat
2). Intensifkan
patroli dan tatap muka petugas Polri dengan warga
b. komunikasi intensif petugas Polri-warga
masyarakat :
1). Intensifkan
kontak person antara petugas dengan warga secara langsung/tatap muka atau
melalui sarana komunikasi,
2). Pemanfaatan
sarana media pers cetak maupun elektronik,
3). Penyelenggaraan
forum komunikasi Polri dan masyarakat
c. pemanfaatan
FKPM untuk pemecahan masalah, eliminasi akar permasalahan dan pengendalian
masalah sosial :
1). Pemanfaatan
tempat, balai pertemuan untuk forum komunikasi masyarakat,
2). Pemanfaatan
forum pertemuan yang dilaksanakan warga masyarakat secara rutin, periodik atau
insidentil.
d. pendekatan
dan komunikasi intensif dengan tokoh-tokoh formal dan informal (adat, agama,
pemuda, tokoh perempuan/ibu, pengusaha, profesi, dsb) dalam rangka
mengeliminasi akar permasalahan dan pemecahan masalah keamanan/ketertiban.
e. pemberdayaan
pranata sosial untuk mengendalikan sosial, eliminasi akar masalah dan pemecahan
masalah sosial.
f. penerapan
Konsep Alternatif Dispute Resolution (pola penyelesaian masalah sosial
melalui jalur alternatif yang lebih efektif berupa upaya menetralisir masalah
selain melalui proses hukum atau non litigasi), misalnya melalui perdamaian.
g. pendidikan/pelatihan
ketrampilan penanggulangan gangguan kamtibmas,
h. koordinasi
dan kerjasama dengan kelompok formal ataupun informal dalam rangka pemecahan
masalah Kamtibmas.
Pada pasal 14 huruf f diatas
disebutkan “penerapan Konsep Alternatif Dispute Resolution (pola
penyelesaian masalah sosial melalui jalur alternatif yang lebih efektif berupa
upaya menetralisir masalah selain melalui proses hukum atau non litigasi),
misalnya melalui perdamaian”. Pada Penerapan Konsep ADR (Alternatif
Dispute Resolution) ada beberapa aspek yang perlu diketahui :
Keterampilan
Nonlitigasi memuat dua pengertian (terma) yaitu : keterampilan dan nonlitigasi.
Keterampilan adalah pengertian praksis bersangkut paut dengan kepribadian
seseorang. Ada orang yang tidak begitu berpengetahuan tetapi memiliki organ
fisik yang cekatan, tidak canggung, sehingga dalam mengerjakan pekerjaan
fisiknya sangat terampil, tangannya seperti tangan kucing, menyentuh barang
tidak berisik, tidak jatuh, tepat pada posisi yang sebenarnya. Keterampilan
fisik sebagai segi praksis sangat ditunjang oleh akal, dan hal ini lazimnya ada
pada bidang ilmu terapan (murni), misalnya teknologi. Keterampilan dalam bidang
hukum (ilmu humaniora) adalah berbeda dengan bidang praksis teknologi yang
hanya mengandalkan akal/intelektual/pikiran yang berhubungan dengan fisik.
Keterampilan
Nonlitigasi ataupun keterampilan litigasi justru terlepas dari faktor fisik.
Kalau teknologi keterampilan lahir antara hubungan fisik dan intelektualitas,
maka keterampilan hukum justru lahir
dari hubungan antara intelektualitas dan nurani.
Dalam
terma lain, nurani disebut juga budi,
batin, pikiran bawah sadar, di wilayah inilah persoalan hukum dapat selesai
tuntas. Adagium hukum dibidang keterampilan nonlitigasi yang cukup terkenal
mengatakan “perdebatan dapat
dimenangkan, tetapi nurani orang belum tentu tunduk”. Tunduknya nurani
orang akan menyelesaikan seluruh perselisihan tanpa sisa, oleh karena
penerimaan nurani adalah penerimaan maha tulus karena kesadaran kemanusiaan.
Aplikasi keterampilan nonlitigasi benar-benar memerlukan kepekaan nurani.
Penyelesaian sengketa secara nonlitigasi yang berperan adalah nurani, mengarah
ke tujuan hukum di tingkat nilai
yaitu masyarakat tentram dan damai.
Jadi penyelesaian sengketa secara nonlitigasi dasarnya nurani (bisikan batin
yang jujur) dan sasarannya adalah ketentraman dan kedamaian. Penyelesaian
sengketa secara nonlitigasi dapat berbentuk kontruksi prosedur model/rancangan
penyelesaian sengketa dengan sasaran agar pihak yang bersengketa dapat mencapai
perdamaian.
Berbeda
dengan litigasi (menyelesaikan perkara di pengadilan) yaitu kepandaian
penguasaan pasal-pasal hukum materiil dan hukum formal, mengarah kepada tujuan
hukum di tingkat nilai yaitu tata dan
keadilan, yang akan menciptakan tata (hukum dalam yurisprudensi) dan
keadilan (memberikan kepada para pihak apa yang menjadi haknya) hakim, dengan
memakai ketentuan hukum yang berlaku. Dalam tujuan hukum adalah keadilan serta
kedamaian merupakan makna hukum yang tujuannya tertinggi dari hukum itu. Di
dalam kedamaian ada keadilan, dan keadilan diharapkan akan dapat memberikan
kedamaian. Jika keadilan tidak dapat memberikan kedamaian, maka setidaknya
keadilan hukum itu sudah dapat memaksa masyarakat untuk menyelesaikan konflik
sehingga dalam hal tersebut masyarakat dipaksa oleh hukum untuk menerima
keadilan legalitas. Menerima keadilan legalitas berarti masyarakat harus
menerima penyelesaian konflik sesuai dengan pasal-pasal hukum demi tidak
terongrongnya kedamaian di masyarakat. Di dalam tujuan hukum terdapat tiga elemen
yakni : elemen reguler, elemen keadilan
dan elemen memanusiakan manusia.
Elemen
Reguler, yaitu dalam bentuk norma hukum yang memeberikan kepastian
penyelesaian bagi setiap persoalan di masyarakat tentang apa hukumnya atau
bagaimana hukumnya atas suatu masalah tersebut. Jadi hukum disini datang untuk
tujuan menimbulkan tata dan kepastian hukum. Dengan demikian segi regulasi ini
sangat dibutuhkan oleh masyarakat agar dapat bertindak sesuai dengan hukum
untuk mencegah terjadinya konflik kepentingan serta memberikan kepastian
tentang apa yang harus dibuat oleh masyarakat dalam bidang kehidupan apapun
menurut hukum agar tidak terjadi bentrokan. Masyarakat dalam segala segi
pergaulan sangat memerlukan regulasi yang jelas dan pasti dari hukum agar dapat
berhubungan dengan masyarakat disekitarnya secara pasti dengan mentaati dan
menjalankan pergaulan hidup. Tanpa ada peraturan yang jelas masyarakat menjadi
ragu-ragu untuk melangkah dalam melakukan apapun, sebab jika terjadi konflik
kepentingan maka hanya peraturan hukum yang diharapkan dapat memberikan jalan
keluar.
Elemen Keadilan, adalah kehendak yang
ajeg untuk memberikan kepada masing-masing bagiannya. Keadilan mewajibkan
manusia untuk menciptakan kedamaian dengan memberikan kepada orang lain
bagiannya sesuai haknya. Dan hal itu harus dilakukan secara konsisten dan
pasti, tidak boleh melakukan kesewenang-wenangan, dan pihak lain harus selalu
diperhatikan sesuai dengan keberadaannya menurut hukum. Ada enam keadilan di
dalam elemen keadilan, yaitu :
pertama,
keadilan komutatif, adalah keadilan yang memberikan kepada masing-masing
bagiannya. Apa yang menjadi bagian dari orang lain, yaitu apa yang menjadi
haknya, terutama kehidupannya. Manusia dengan kehidupannya meliputi hak-hak
kebendaan dalam arti luas dan hak-hak kebebasan untuk hidup. Hak kebendaan
dalam arti luas dapat berwujud benda yang dapat dihaki orang, uang, tanah,
makanan, rumah, anak, suami, istri bahkan segala hal yang dapat dimiliki, hak
sedemikian yang merupakan hak orang lain haruslah diberikan kepada orang
tersebut, dan tidak ada orang yang berhak merampasnya. Kebebasan hidup pun
adalah hak yang harus diberikan kepada orang agar ia dapat menjadi manusia yang
menerima keadilan sebagai bagiannya yaitu kebebasan untuk tidak diperbudak,
dieksploitasi, sehingga dengan demikian penindasan terhadap manusia adalah
bertentanga dengan keadilan ini. Apabila keadilan komutatif dilanggar maka yang
merasa dirongrong rasa keadilannya itu dapat melakukan tuntutan pengembalian
haknya yang diambil oleh orang lain secara melanggar hukum, prestasi harus
ditutup dengan kontraprestasi dan hak harus diimbangi dengan kewajiban.
Prestasi-kontraprestasi, hak dan kewajiban menunjukan disitu ada bagian orang
lain yang harus diberikan kepada mereka sesuai dengan haknya.
Kedua,
keadilan distributif yaitu hak-hak publik yang terdistribusikan oleh kekuasaan
di suatu negara, tidaklah berdasarkan kesamarataan, melainkan berdasarkan
kualitas pribadi dalam hubungannya dengan kekuasaan dengan azas proporsional. Kekuasaan akan dapat
menjalankan keadilan yang berkualitas kepada seluruh masyarakatnya apabila
hak-hak publik dapat diberikan secara tepat kepada persona yang tepat. Bentuk
keadilan distributif yang diberikan kepada anggota masyarakat bermacam-macam
meliputi, kecakapan, kesehatan, bakat, pengaruh, dll. Keadilan distributif
berkaitan dengan beban-beban sosial, fungsi-fungsi dan kehormatan publik.
Misalnya kepada masyarakat yang cakap diberikan menduduki fungsi publik sebagai
dosen, yang sehat dan kuat diberikan menduduki fungsi sebagai tentara, yang
berkebajikan sebagai hakim dan yang berwibawa sebagai pemimpin, tidak akan
terjadi yang buta huruf sebagai guru dll, karena hal itu tidak proporsional.
Ketiga,
keadilan vindikatif, yaitu keadilan yang memberikan masing-masing hukuman yang
setimpal dengan kejahatan atau pelanggarannya. Masyarakat yang tentram damai
memerlukan manusia yang baik dan manusia yang jahat harus di hukum agar tidak
menjadi penyakit di masyarakat. Manusia jahat yang menjadi penyakit masyarakat
akan selalu menghalangi kesejahteraan umum, dan cenderung dengan keserakahannya
merampas hak dan nyawa orang lain dengan cara-cara kekerasan. Sifat manusia
seperti itu tidak dapat diperbaiki dengan cara berbaik hati tetapi harus
diberikan ganjaran yang setimpal bahwa apa yang ia lakukan sebenarnya sangat
tidak mengenakkan orang lain, sehingga ketidak-enakkan itu harus juga
ditimpakan kepadanya untuk dirasakan dengan menjalani hukuman. Hukuman yang
setimpal atas perbuatan yang melanggar hukum khususnya berlaku dalam bidang
hukum pidana disebut sebagai penerapan keadilan vindikatif.
Keempat,
keadilan protektif yaitu memberikan pengayoman kepada masing-masing manusia
pribadi dalam pergaulannya di masyarakat. Di dalam masyarakat manusia melakukan
perhubungan satu sama lain, dan hukum harus tetap ada pada posisi memberikan
perlindungan kepada siapapun tanpa membedakan antara satu manusia dengan
manusia yang lain sebagai orang yang mempunyai hak-hak dan kewajiban. Keadilan
protektif, mencegah perlakuan sewenang-wenang. Ketertiban untuk menuju kepada
ketentraman selalu dijaga dan tidak ada di antara anggota masyarakat terutama
penguasa boleh melaksanakan tekanan dan ancaman yang menghasilkan ketakutan.
Kelima,
keadilan kreatif, yaitu keadilan yang memberikan kepada masing-masing suatu
kebebasan untuk berkreasi. Kebebasan berkreasi meliputi melakukan karya dan
karya cipta baik di bidang ilmu maupun di bidang seni. Seniman sangat menuntut
keadilan ini, sebab dengan memberikan keadilan kreatif maka seniman akan dapat
berkarya cipta, mementaskan berbagai pertunjukan dan aspirasi seni lainnya
dalam rangka dan dalam tugas seni mengekspresikan masalah-masalah hukum, moral
dan kemanusiaan kepada masyarakat melalui pesan-pesan keindahan.
Keenam,
keadilan legalitas yaitu keadilan yang harus diberikan kepada siapapun oleh
siapapun dan dengan cara apapun. Keadilan legalitas adalah keadilan yang
diberikan oleh undang-undang (hukum positif) kepada siapapun dalam rangka
kedamaian, ketentraman dan kesejahteraan masyarakat. Tujuan keaadilan legalitas
adalah agar masyarakat teratur, hidup di bawah tata menuju kepada masyarakat
yang tentram. Masyarakat yang taat kepada undang-undang akan dapat menciptakan
ketentraman, begitu pula penguasa yang taat melaksanakan undang-undang akan
menyebabkan terciptanya keadilan. Keadilan legalitas adalah untuk dilaksanakan
oleh penguasa dan dituju oleh masyarakat. Tanpa ada ketaatan kepada
undang-undang maka keadilan akan menjadi soal, dan kesejahteraan umum menjadi
kemustahilan.
Elemen memanusiakan manusia, inti tujuan hukum adalah memanusiakan manusia.
Tujuan hukum yang paling dalam dan paling esensi adalah memanusiakan manusia,
menjaga agar manusia tetap diperlukan sebagai manusia. Dalam negara diktator,
manusia diberlakukan seperti binatang, ditindas, diperalat, di-dehumanisasi.
Sifat subyek dari manusia adalah sifat yang hakiki. Manusia itu memiliki “aku”
yang tidak boleh di sewenang-wenangkan. Dan di pihak lain manusia memiliki
relasi, yaitu relasi antara aku dan engkau. Sifat relasi ini menjadikan
manusia ada dalam lingkup kemanusiaannya yang utuh, yaitu manusia dalam
hubungannya dengan sesama, manusia dalam hubungannya alam semesta dan manusia
dalam hubungannya dengan Sang Pencipta.
Nonlitigasi,
sebagai kebalikan dari litigasi (litigation/pengadilan) tugasnya (argumentum
analogium) adalah juga sebagian besar untuk penyelesaian sengketa di luar
pengadilan dengan melalui perdamaian (tentram damai) dan sebagian kecil
tugasnya penangkalan sengketa dengan perancangan-perancangan kontrak yang baik.
Artinya bahwa semua sengketa yang dapat diselesaikan tanpa melalui pengadilan
atau penangkalan sengketa yang dapat diselesaikan tanpa melalui pengadilan atau penangkalan sengketa yang
dapat dilakukan dengan ikatan hukum tanpa melalui pengadilan adalah ketrampilan nonlitigasi. Penyelesaian
sengketa atau penangkalan secara nonlitigasi meliputi bidang yang sangat luas
bahkan mencakup seluruh aspek kehidupan yang dapat diselesaikan secara hukum.
Perlu diketahui bahwa hukum bukan satu-satunya bentuk penyelesaian sengketa,
terkadang dapat bahkan tidak jarang berbagai sengketa dapat diselesaikan dengan
cara lain misalnya premanisme, debt collector, dan lai-lain dalam hal penagihan
hutang dan hal tersebut tidak dapat digolongkan kepada penyelesaian secara
nonlitigasi, karena penyelesaian seperti itu tidak didasarkan kepada hukum.
Penyelesaian sengketa secara nonlitigasi adalah penyelesaian sengketa di luar
pengadilan yang didasarkan kepada hukum, dan penyelesaian tersebut dapat
digolongkan kepada penyelesaian yang berkualitas tinggi, karena sengketa yang
diselesaikan secara demikian akan dapat selesai tuntas tanpa meninggalkan sisa
kebencian dan dendam. Orang dapat saja menyelesaikan masalah secara premanisme
dan premanisme memperkosa nurani sehingga luka nurani menyisakan dendam,
sebagai persolan dapat beanak pinak persoalan, yang di dalamnya tidak mustahil
banyak berisi sengketa hukum baru. Pembalasan dengan kekerasan yang dilakukan
oleh orang yang dipremanisme dapat menimbulkan perkelahian, pembunuhan,
pemerkosaan yang merupakan sengketa hukum baru yang harus diselesaikan dengan
hukum. Penyelesaian sengketa hukum secara non litigasi dengan cara-cara
penerapan hukum dengan meyakinkan kepada para pihak bahwa hukum itu adalah cara
yang paling bermoral dalam penyelesaian sengketa adalah penyelesaian yang dapat
menuntaskan sengketa tanpa menyisakan dendam yang dapat menimbulkan kekacauan
di masyarakat. Dengan demikian, penyelesaian sengketa atau penangkalan sengketa
secara non litigasi, intinya penyelesaian masalah hukum, secara hukum dan
nurani, sehingga di situ hukum dapat dimenangkan dan nurani orang juga tunduk
untuk mentaati kesepakatan/perdamaian secara sukarela, tanpa ada yang merasa
kalah. Demikian pentingnya ketrampilan nonlitigasi ini bagi petugas Polmas
untuk menjamin terpeliharanya rasa aman, tertib dan tenteram dalam masyarakat,
sehingga Polisi dan warga masyarakat menggalang kemitraan untuk memelihara dan
menumbuhkembangkan pengelolaan keamanan dan ketertiban lingkungan. Kemitraan
ini dilandasi oleh norma-norma sosial dan/atau kesepakatan-kesepakatan lokal
dengan tetap mengindahkan peraturan-peraturan hukum positif yang berlaku dan
menjunjung tinggi prinsip-prinsip hak asasi manusia dan kebebasan individu yang
bertanggung jawab dalam kehidupan masyarakat yang demokratis. Dengan mengemban
tugas pokok Polri memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan
hukum dan memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat,
Polri selaku pengemban fungsi Polmas dapat mengadakan deteksi dini terhadap
permasalahan yang muncul serta penangkalan sengketa yang mungkin timbul di
masyarakat. Untuk itu betapa pentingnya Ketrampilan Nonlitigasi sebagai
pengetahuan bagi aparat hukum. Faktor dominan untuk suksesnya Aplikasi Nonlitigasi
harus didukung oleh faktor kepribadian
dan penguasaan pengetahuan hukum.
Pada faktor kepribadian, sulit
mengharapkan tersambungnya dua nurani yang berkonflik kalau kepribadian
masing-masing yang terlibat dalam aplikasi nonlitigasi belum matang, dan belum
memahami masalah-masalah kemanusiaan. Seorang anak muda dengan emosi tinggi
menerobos masalah dengan menggertak, mengancam, menandakan bahwa kepribadian
yang seperti itu belum cukup siap untuk mengambil pekerjaan nonlitigasi. Sebab
menggertak hasilnya pasti gertakan dan perasaan, sehingga ketidakmampuan
mengendalikan emosi juga pertanda ketidakmatangan pribadi. Orang yang
pribadinya tidak matang ditandai dengan penampilan yang tegang, menampakkan
wajah marah, menggerutu, bahkan mencaci maki, menjadi sulit diterima oleh pihak
lain dan di mata orang pandai, kualitas manusia seperti itu rendah dan kurang
dihargai. Agar aplikasi nonlitigasi dapat mencapai hasil yang optimal,
diperlukan adanya kematangan pribadi pada aplikatornya. Ada lima syarat untuk
mencapai kematangan pribadi yaitu : a). pendidikan, b). prestasi, c). prestise,
d). komunikasi, e).organisasi. Syarat pertama
pendidikan, orang berpendidikan
adalah orang berakal/intelektual. Akal adalah faktor dominan tingkah laku
bermoral. Orang pandai tidak akan mau melakukan hal-hal yang tidak masuk akal,
oleh karena hal-hal yang tidak masuk akal cenderung menipu. Tidak disangkal
juga bahwa orang pandai juga pandai menipu. Akan tetapi, setidaknya orang yang
intelek tidak akan tertipu, atau menipu orang lain dengan cara-cara di luar
akal. Dengan akal yang prima, orang pandai itu dapat menyiasati dunia ini,
sehingga kepandaian itu akhirnya mendapat perlindungan hukum terhadap segala
hasil kepandaiannya. Orang yang bodoh mungkin merasa tertipu, tetapi pada
akhirnya “legalize” nya adalah “wajar dia kaya, dihormati dan lain-lain, karena
ia pandai”. Pendidikan menyebabkan orang menjadi pandai dan orang yang pandai
dihargai oleh orang lain. Apabila kita sudah dihargai orang, maka orang
cenderung menerima kita, oleh karena kepandaian atau akal adalah tolok ukur
hukum dibuat hitung-hitungan moral, dimana manusia dapat menghitung dengan
akalnya bahwa membunuh adalah merugikan orang lain dan keluarganya, menipu
adalah merongrong hak milik orang lain, dimana penipu telah main akal-akalan,
mengkhianati akal, dan yang tertipu kurang hati-hati, kurang memakai akalnya
sehingga berhasil ditipu. Asumsinya adalah bahwa kepandaian, akal, pendidikan
orang terdidik, adalah orang yang berakal, sebagai dasar moral, sehingga orang
yang bermoral diterima orang lain. Aplikasi nonlitigasi modal pertamanya adalah
aplikator harus memiliki pendidikan, dalam hal ini aplikasi nonlitigasi dapat
dilakukan dengan baik oleh orang-orang yang memiliki pendidikan hukum. Syarat kedua prestasi, untuk dihargai dan diterima oleh orang lain, pendidikan
saja tidak cukup, harus disertai dengan prestasi dibidangnya (bidang hukum) dan
di bidang lain yang berkaitan dengan itu. Pendidikan hukum adalah syarat,
tetapi apabila penguasaan terhadap hukum tidak baik dan bahkan juga tidak
pernah bahwa ilmu hukum (ilmu yang mempelajari norma-norma penjaga moral) ada
kaitannya dengan ilmu yang lain yang bersifat melengkapi pengetahuan moral,
misalnya ilmu psikologi, sosiologi, dan lain-lain akan menyebabkan aplikator nonlitigasi sebagai inti pendidikan
minimal, sehingga rendahnya kualitas argumentasi, menyebabkan kita tidak
dihargai dengan memadai. Pendidikan yang bagus, disertai dengan prestasi yang
baik, melahirkan sosok manusia argumentatif dan dihargai serta diterima oleh
orang lain, oleh karena ha-hal yang ia kemukakan masuk diakal. Syarat ketiga prestise, dalam aplikasi nonlitigasi, prestise pribadi harus
dijaga, tidak jarang terjadi penerimaan pribadi kita oleh orang lain diawali
oleh cara kita berpakaian, cara bertegur sapa, cara memandang orang lain, cara
berbasa-basi dan kualitas harmonis yang kita pakai sebagai pembuka jalan.
Banyak buku-buku psikologi menjelaskan tentang bagaimana tampil sebagai orang
yang dihargai dengan tanda-tanda yang berharga dan diterima orang lain,
misalnya menyapa orang terlebih dahulu, memanggil nama yang disukai, ketawa
lebih lebar, hal itu merupakan salah satu ciri prestise yang menunjang/sebagai
pembuka jalan untuk dapat diterima oleh orang lain sebagai jalan awal
nonlitigasi. Syarat keempat organisasi,
organisasi sebagai salah satu ciri, dimana orang-orang nomor satu di suatu
organisasi sebagai orang yang dihargai, setidak-tidaknya oleh anggota
organisasi atau potensi berharga
seseorang dimulai dari kepandaiannya dalam organisasi. Organisasi adalah
langkah nyata untuk memasuki kualitas diri berharga sehingga dihargai oleh
orang lain. Hendaknya kesukaan untuk berorganisasi dimulai atau jangan ditolak sebagai
ciri harga diri dan dihargai orang lain. Keterampilan nonlitigasi ditunjang
dengan kepandaian berorganisasi atau luasnya organisasi akan menjadi faktor
penunjang kesuksesan aplikasi nonlitigasi. Jadi kualitas berorganisasi adalah
kualitas pribadi yang dihargai untuk dapat lebih mudah berhubungan dengan orang
lain. Syarat kelima komunikasi, komunikasi
adalah faktor utama dalam aplikasi nonlitigasi. Kualitas komunikasi adalah
kualitas nonlitigasi, semakin rendah kualitas kominikasi kita, semakin rendah
memungkinkan dapat suksesnya aplikasi nonlitigasi. Bagaimana menjalin
komunikasi yang lancar, tergantung pada diri dan prinsip-prinsip pribadi. Orang
yang tertutup dan cepat tersinggung sulit mempertahankan jalur komunikasi, pula
orang yang berbekal niat buruk, gerak-geriknya gampang terbaca dari trik-triknya
yang menampakkan kepalsuan. Komunikasi harus didasari oleh hati yang tulus,
tidak membicarakan kejelek-jelekan orang lain, sebab hal itu membongkar kedok
bahwa kita adalah orang jelek, sebab orang baik tidak akan menjelekkan orang
lain. Permusuhan, iri, dengki yang dibiasakan dalam hidup akan menghambat
komunikasi, oleh karena kedengkian selalu tampak dalam tutur kata yang orang
lain akan menghindari diri kita, karena takut menjadi korban berikutnya.
Komunikasi yang berhasil harus diawali dengan rasa simpati, dan diselami dengan
empati, sehingga apa yang kita ucapkan tepat mengenai pada situasi sosial yang
kita ajak komunikasi, yang menyebabkan kita diterima. Komunikasi yang wajar dan
terpelajar, universal dapat diterima. Terlalu merendah, penuh basa-basi, dapat
menimbulkan was-was pada orang lain yang berimbas kekhawatiran dan takut
terhadap penolakan. Dalam komunikasi seluruh peluang harus di buka, baik
peluang ditolak maupun diterima sehingga pihak lain dapat menerima tanpa ada
rasa terpaksa karena khawatir ada kekecewaan yang menjadi hasilnya. Memuji-muji
secara berlebihan juga tidak dapat diharapkan akan menjadi pembuka jalan
komunikasi yang baik, sebab apa yang ada dibalik pujian akan menjadi sosok
hambatan. Rasa persaudaraan dan menyukai orang lain secara tulus jauh lebih
menolong, karena hambatan curiga dan was-was tidak mempunyai dasar disitu.
Disamping lima hal seperti disebutkan diatas perlu diperhatikan dalam
peningkatan kualitas kepribadian, maka segi-segi moral dan kebajikan dan
pembinaan kepribadian. Keterampilan nonlitigasi bukanlah keterampilan fisik
melainkan ketrerampilan akal berhubungan
dengan nurani. Apabila hukum sudah ditaati, orang tidak melanggar norma
hukum, maka disitu moral sudah dapat dijaga. Berbeda dengan nurani jika bekerja
sistematik dengan kehidupan akan melahirkan kebajikan. Orang yang baik adalah
orang yang hati (akal) dan nuraninya bersih. Jadi, bekerjanya secara harmonis
antara akal dan budi adalah kearifan dan kikijakan. Aplikasi nonlitigasi ada
dalam posisi hati dan nurani secara harmonis. Hati, moral, hukum adalah
intelektualitas kalau dijalankan atau dilanggar, maka penyelesaiannya dapat
“hitam-putih”. Akan tetapi jika nurani ikut diperankan, itulah peran
nonlitigasi, dimana penyelesaian masalah menjadi tuntas, tidak saja
menyenangkan hati, tetapi juga tidak melukai nurani.
Faktor penguasaan pengetahuan hukum,
agar sukses dapat dicapai dalam aplikasi nonlitigasi, orang pertama-tama harus
berbekalkan kualitas kepribadian (kematangan pribadi), sehingga kepribadian
yang baik diterima orang dan yang kedua penguasaan pengetahuan hukum, karena dengan penguasaan pengetahuan hukum,
penyelesaian secara nonlitigasi adalah sah. Aplikator nonlitigasi minimal harus
menguasai bidang-bidang pokok hukum
materiil (hukum perdata, pidana, tata negara) dan bidang hukum formil (hukum acara perdata, acara
pidana, hukum acara tata negara). Tanpa penguasaan hukum, aplikasi nonlitigasi
mustahil. Dalam aplikasi nonlitigasi, hukum dipakai patokan, akan tetapi
pelaksanaannya disesuaikan dengan kehendak para pihak, agar para pihak merasa
puas dengan penyelesaian seperti itu.
Adapun beberapa dasar hukum dari
ketrampilan nonlitigasi adalah pasal 13 dan 14 HIR, perdamaian atas sengketa
kecil-kecil di Desa oleh Kepala Desa. Pasal 13 (1) HIR berbunyi “Kepala Desa hendaklah berikhtiar supaya
penduduk Desanya tetap tenteram dan rukun dan menjauhkan segala sesuatu yang
dapat menyebabkan perselisihan dan perbantahan”. (2). “Perselisihan kecil-kecil
yang semata-mata menyangkut kepentingan-kepentingan penduduk Desa saja,
sedapat-dapatnya hendaknya diperdamaikannya dengan tidak berpihak dan dengan
mufakat orang tua-tua desa itu”. Pasal 14 HIR berbunyi “jika orang-orang
berselisih itu tidak dapat didamaikan atau jika perselisihan itu begitu
penting, kepala desa hendaknya mengirim kedua belah pihak itu kepada distrik”.
Ketentuan diatas begitu penting untuk aplikasi nonlitigasi oleh kepala desa
demi tujuan hukum, yaitu masyarakat yang tenteram dan damai. Bagi Polmas FKPM
adalah wadah yang tepat untuk menyelesaikan sengketa nonlitigasi. Pada Undang
Undang No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa, dalam pasal 1 (10) ditentukan bahwa “penyelesaian sengketa alternatif adalah penyelesaian sengketa atau
beda pendapat melalui prosedur yang disepakati oleh para pihak yakni
penyelesaian di luar Pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, konsiliasi atau penilaian ahli”.
Termasuk dalam hal tindak pidana yang pengecualiannya adalah tindak pidana
aduan (delik aduan) yakni tindak pidana yang terjadi dalam keluarga, apakah
selain itu dapat diselesaikan dengan nonlitigasi? Dalam praktiknya dilapangan
banyak hal yang dapat diselesaikan di luar pengadilan secara nonlitigasi. Contohnya
perebutan hak warisan tanah, disertai dengan penyerobotan mengakibatkan si
penyerobot diancam pidana, dan pada saat itu baru tumbuh kesadarannya untuk
berbagi rata, dan pihak ahli waris yang lain berupaya melepaskan saudaranya
dari ancaman pidana. Perdamaian itu bersifat membuka kesempatan nonlitigasi
bagi para pihak demi manfaat hukum dan tujuan hukum (tenteram dan damai).
Polmas dalam hal ini mempunyai peran yang penting bagi terpeliharanya keamanan
dan ketertiban masyarakat yang pada akhirnya tercapainya tujuan hukum pada
perspektif kebudayaan di tingkat nilai tata dan keadilan, pada tingkat makna
ketenteraman dan kedamaian serta pada tingkat martabat kemanusiaan dan
kehidupan.
Untuk dapat mencapai target yang diharapkan
dalam penerapan teknik ADR ini memang tidak ada rumus yang ideal dan baku. Semuanya
dikembalikan kepada kemampuan negosiasi dari pendamping yang memberikan
advokasi pada saat peristiwa terjadi. Secara keilmuan dapat dikemukakan
beberapa teknik negosiasi.
1.
Teknik
reason atau nalar, yakni negosiasi dengan menggunakan
fakta-fakta dan data untuk disajikan sebagai bahan dialog secara logis serta
rasional untuk mempengaruhi pihak lawan.
2. Teknik friendlines atau keramahtamahan, yaitu
dengan pola pendekatan sikap yang ramah, kemauan baik, merendahkan diri dan
bertindak lembut dengan harapan pihak lawan dapat menerima gagasan-gagasan atau
pemecahan yang ditawarkan.
3. Teknik coalition atau koalisi merupakan
teknik negosiasi yang mengandalkan dukungan orang atau lembaga lain guna
menunjang keberhasilan yang diharapkan.
4. Teknik bargaining atau tawar-menawar, adalah
teknik negosiasi yang lebih mengedepankan pertukaran keuntungan dari kedua
belah pihak yang terlibat konflik sehingga masing-masing pihak merasakan
kemenangan.
5. Teknik higher authority atau otoritas
atasan yang dapat dipahami sebagai teknik negosiasi yang lebih
mengandalkan kekuasaan dan kewenangan atasan dari pihak lawan, dengan demikian,
tidak ada alasan baginya untuk mengelak dari model/macam solusi yang ditawarkan.
6.
Teknik
assertiveness atau mempertahankan hak, teknik ini sebenarnya
tidak dapat disebut sebagai teknik negosiasi karena yang dikedepankan adalah
kekuatan dan paksaan langsung terhadap pihak lawan agar patuh dan menuruti
kehendak kita.
Beberapa langkah negosiasi yang tidak efektif berikut ini merupakan
pemahaman yang diharapkan dapat menjadi self
control atau kewaspadaan ketika melakukan negosiasi dengan pihak lawan.
1.
Teknik
compromise atau kompromi, yaitu teknik negosiasi yang terlalu
berlebihan dalam menerima tawaran pihak lawan sehingga lebih banyak
mengorbankan sekaligus merugikan diri sendiri.
2. Teknik missionary atau keharmonisan merupakan
teknik negosiasi yang lebih mengutamakan situasi keharmonisan hubungan sehingga
melupakan nilai-nilai kebenaran yang diperjuangkan.
3.
Teknik
autocrat atau tidak mudah percaya, adalah teknik negosiasi yang
dilatarbelakangi rasa tidak percaya atau kecurigaan secara berlebihan terhadap
pihak lawan sehingga masalah yang diupayakan pemecahannya menjadi sulit
terwujud.
Kegagalan negosiasi disebabkan oleh
kelemahan faktor SDM (sumber daya manusia), itulah sebabnya diperlukan
pelatihan-pelatihan khusus dalam rangka mengembangkan potensi dan kemampuan
negosiasi yang perlu ditumbuhkembangkan tidak sekadar kemampuan berkomunikasi,
tetapi juga keahlian berdiplomasi, retorika bahasa, dan ilmu logika. Berikutnya
mengenai kemampuan penguasaan materi negosiasi yang dispesialisasikan karena
kemampuan orang biasanya terbatas, meski ada saja yang relatif menguasai
semuanya.
Perlu dipahami bahwa kebanyakan aparat
hukum yang kita hadapi adalah orang-orang yang pikirannya sudah terpola
sehingga alur pikirannya dapat disebut “garis
lurus” yang disesuaikan dengan kebijakan umum dari atasannya, itu berarti
bahwa untuk dapat mencapai target yang diharapkan diperlukan seseorang yang
memiliki kemampuan lebih tidak terbatas pada paham ilmu negosiasi tetapi harus
lebih dari itu yakni memiliki kreatifitas dan ahli menyiasati situasi.
Pada hakikatnya, seorang negosiator
adalah seorang pemimpin yang berarti pula harus memiliki pengaruh atas diri
orang atau kelompok lain. Selain mampu berkomunikasi secara efektif juga memiliki kewibawaan sebagai seorang pemimpin.
Dengan demikian seorang negosiator tidak boleh tampil apa adanya, seperti
berpakaian ala preman supaya memberikan kesan menakutkan, atau hanya bersandal
jepit agar lebih dikasihani pihak lawan.
Perlu diingat, “bila diam dalam suatu proses negosiasi, berarti kita harus siap
dikalahkan, namun bila kita banyak bicara dalam proses negosiasi, maka kita
harus siap dikendalikan”. Selamat membaca semoga bermanfaat!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar