Minggu, 19 Agustus 2012

Polmas dan Ketrampilan Non Litigasi


POLMAS DAN KETRAMPILAN NONLITIGASI
OLEH
I GUSTI NGURAH SUTARKA,SH.

Perkembangan sosial, budaya, ekonomi dan politik yang sangat pesat serta berbagai dampak globalisasi pada masyarakat menimbulkan masalah yang semakin kompleks dan meluas, yang sangat mungkin terjadi di berbagai tempat. Perkembangan ini menuntut  pemecahan masalah dan penanganan yang cerdas, kreatif dan cepat yang tidak mungkin dapat diatasi sendiri oleh Polri kecuali dengan partisipasi dan bantuan warga masyarakat. Untuk itu diperlukan ketrampilan anggota Polri selaku pengemban fungsi Polmas. Berikut akan kami coba uraikan bentuk kegiatan penerapan Polmas Persfektif Ketrampilan Nonlitigasi.
Pada Pasal 14 Perkap No. 7 Tahun 2008 tentang Pedoman Dasar Strategi dan Inplementasi Pemolisian Masyarakat dalam Penyelenggaraan Tugas Polri :
Bentuk-bentuk kegiatan dalam penerapan Polmas antara lain :
a.    kegiatan pelayanan dan perlindungan warga masyarakat :
1).        Intensifkan kegiatan pembinaan masyarakat
2).        Intensifkan patroli dan tatap muka petugas Polri dengan warga
b.   komunikasi intensif petugas Polri-warga masyarakat :
1).        Intensifkan kontak person antara petugas dengan warga secara langsung/tatap muka atau melalui sarana komunikasi,
            2).        Pemanfaatan sarana media pers cetak maupun elektronik,
            3).        Penyelenggaraan forum komunikasi Polri dan masyarakat
c.   pemanfaatan FKPM untuk pemecahan masalah, eliminasi akar permasalahan dan pengendalian masalah sosial :
1).        Pemanfaatan tempat, balai pertemuan untuk forum komunikasi masyarakat,
2).        Pemanfaatan forum pertemuan yang dilaksanakan warga masyarakat secara rutin, periodik atau insidentil.
d.   pendekatan dan komunikasi intensif dengan tokoh-tokoh formal dan informal (adat, agama, pemuda, tokoh perempuan/ibu, pengusaha, profesi, dsb) dalam rangka mengeliminasi akar permasalahan dan pemecahan masalah keamanan/ketertiban.
e.   pemberdayaan pranata sosial untuk mengendalikan sosial, eliminasi akar masalah dan pemecahan masalah sosial.
f.    penerapan Konsep Alternatif Dispute Resolution (pola penyelesaian masalah sosial melalui jalur alternatif yang lebih efektif berupa upaya menetralisir masalah selain melalui proses hukum atau non litigasi), misalnya melalui perdamaian.
g.   pendidikan/pelatihan ketrampilan penanggulangan gangguan kamtibmas,
h.   koordinasi dan kerjasama dengan kelompok formal ataupun informal dalam rangka pemecahan masalah Kamtibmas.
            Pada pasal 14 huruf f diatas disebutkan penerapan Konsep Alternatif Dispute Resolution (pola penyelesaian masalah sosial melalui jalur alternatif yang lebih efektif berupa upaya menetralisir masalah selain melalui proses hukum atau non litigasi), misalnya melalui perdamaian”. Pada Penerapan Konsep ADR (Alternatif Dispute Resolution) ada beberapa aspek yang perlu diketahui :
            Keterampilan Nonlitigasi memuat dua pengertian (terma) yaitu : keterampilan dan nonlitigasi. Keterampilan adalah pengertian praksis bersangkut paut dengan kepribadian seseorang. Ada orang yang tidak begitu berpengetahuan tetapi memiliki organ fisik yang cekatan, tidak canggung, sehingga dalam mengerjakan pekerjaan fisiknya sangat terampil, tangannya seperti tangan kucing, menyentuh barang tidak berisik, tidak jatuh, tepat pada posisi yang sebenarnya. Keterampilan fisik sebagai segi praksis sangat ditunjang oleh akal, dan hal ini lazimnya ada pada bidang ilmu terapan (murni), misalnya teknologi. Keterampilan dalam bidang hukum (ilmu humaniora) adalah berbeda dengan bidang praksis teknologi yang hanya mengandalkan akal/intelektual/pikiran yang berhubungan dengan fisik.
            Keterampilan Nonlitigasi ataupun keterampilan litigasi justru terlepas dari faktor fisik. Kalau teknologi keterampilan lahir antara hubungan fisik dan intelektualitas, maka keterampilan hukum justru lahir dari hubungan antara intelektualitas dan nurani.
            Dalam terma lain, nurani disebut  juga budi, batin, pikiran bawah sadar, di wilayah inilah persoalan hukum dapat selesai tuntas. Adagium hukum dibidang keterampilan nonlitigasi yang cukup terkenal mengatakan “perdebatan dapat dimenangkan, tetapi nurani orang belum tentu tunduk”. Tunduknya nurani orang akan menyelesaikan seluruh perselisihan tanpa sisa, oleh karena penerimaan nurani adalah penerimaan maha tulus karena kesadaran kemanusiaan. Aplikasi keterampilan nonlitigasi benar-benar memerlukan kepekaan nurani. Penyelesaian sengketa secara nonlitigasi yang berperan adalah nurani, mengarah ke tujuan hukum di tingkat nilai yaitu masyarakat tentram dan damai. Jadi penyelesaian sengketa secara nonlitigasi dasarnya nurani (bisikan batin yang jujur) dan sasarannya adalah ketentraman dan kedamaian. Penyelesaian sengketa secara nonlitigasi dapat berbentuk kontruksi prosedur model/rancangan penyelesaian sengketa dengan sasaran agar pihak yang bersengketa dapat mencapai perdamaian.
            Berbeda dengan litigasi (menyelesaikan perkara di pengadilan) yaitu kepandaian penguasaan pasal-pasal hukum materiil dan hukum formal, mengarah kepada tujuan hukum di tingkat nilai yaitu tata dan keadilan, yang akan menciptakan tata (hukum dalam yurisprudensi) dan keadilan (memberikan kepada para pihak apa yang menjadi haknya) hakim, dengan memakai ketentuan hukum yang berlaku. Dalam tujuan hukum adalah keadilan serta kedamaian merupakan makna hukum yang tujuannya tertinggi dari hukum itu. Di dalam kedamaian ada keadilan, dan keadilan diharapkan akan dapat memberikan kedamaian. Jika keadilan tidak dapat memberikan kedamaian, maka setidaknya keadilan hukum itu sudah dapat memaksa masyarakat untuk menyelesaikan konflik sehingga dalam hal tersebut masyarakat dipaksa oleh hukum untuk menerima keadilan legalitas. Menerima keadilan legalitas berarti masyarakat harus menerima penyelesaian konflik sesuai dengan pasal-pasal hukum demi tidak terongrongnya kedamaian di masyarakat. Di dalam tujuan hukum terdapat tiga elemen yakni : elemen reguler, elemen keadilan dan elemen memanusiakan manusia.
             Elemen Reguler, yaitu dalam bentuk norma hukum yang memeberikan kepastian penyelesaian bagi setiap persoalan di masyarakat tentang apa hukumnya atau bagaimana hukumnya atas suatu masalah tersebut. Jadi hukum disini datang untuk tujuan menimbulkan tata dan kepastian hukum. Dengan demikian segi regulasi ini sangat dibutuhkan oleh masyarakat agar dapat bertindak sesuai dengan hukum untuk mencegah terjadinya konflik kepentingan serta memberikan kepastian tentang apa yang harus dibuat oleh masyarakat dalam bidang kehidupan apapun menurut hukum agar tidak terjadi bentrokan. Masyarakat dalam segala segi pergaulan sangat memerlukan regulasi yang jelas dan pasti dari hukum agar dapat berhubungan dengan masyarakat disekitarnya secara pasti dengan mentaati dan menjalankan pergaulan hidup. Tanpa ada peraturan yang jelas masyarakat menjadi ragu-ragu untuk melangkah dalam melakukan apapun, sebab jika terjadi konflik kepentingan maka hanya peraturan hukum yang diharapkan dapat memberikan jalan keluar.
            Elemen Keadilan, adalah kehendak yang ajeg untuk memberikan kepada masing-masing bagiannya. Keadilan mewajibkan manusia untuk menciptakan kedamaian dengan memberikan kepada orang lain bagiannya sesuai haknya. Dan hal itu harus dilakukan secara konsisten dan pasti, tidak boleh melakukan kesewenang-wenangan, dan pihak lain harus selalu diperhatikan sesuai dengan keberadaannya menurut hukum. Ada enam keadilan di dalam elemen keadilan, yaitu :
pertama, keadilan komutatif, adalah keadilan yang memberikan kepada masing-masing bagiannya. Apa yang menjadi bagian dari orang lain, yaitu apa yang menjadi haknya, terutama kehidupannya. Manusia dengan kehidupannya meliputi hak-hak kebendaan dalam arti luas dan hak-hak kebebasan untuk hidup. Hak kebendaan dalam arti luas dapat berwujud benda yang dapat dihaki orang, uang, tanah, makanan, rumah, anak, suami, istri bahkan segala hal yang dapat dimiliki, hak sedemikian yang merupakan hak orang lain haruslah diberikan kepada orang tersebut, dan tidak ada orang yang berhak merampasnya. Kebebasan hidup pun adalah hak yang harus diberikan kepada orang agar ia dapat menjadi manusia yang menerima keadilan sebagai bagiannya yaitu kebebasan untuk tidak diperbudak, dieksploitasi, sehingga dengan demikian penindasan terhadap manusia adalah bertentanga dengan keadilan ini. Apabila keadilan komutatif dilanggar maka yang merasa dirongrong rasa keadilannya itu dapat melakukan tuntutan pengembalian haknya yang diambil oleh orang lain secara melanggar hukum, prestasi harus ditutup dengan kontraprestasi dan hak harus diimbangi dengan kewajiban. Prestasi-kontraprestasi, hak dan kewajiban menunjukan disitu ada bagian orang lain yang harus diberikan kepada mereka sesuai dengan haknya.
Kedua, keadilan distributif yaitu hak-hak publik yang terdistribusikan oleh kekuasaan di suatu negara, tidaklah berdasarkan kesamarataan, melainkan berdasarkan kualitas pribadi dalam hubungannya dengan kekuasaan dengan azas proporsional. Kekuasaan akan dapat menjalankan keadilan yang berkualitas kepada seluruh masyarakatnya apabila hak-hak publik dapat diberikan secara tepat kepada persona yang tepat. Bentuk keadilan distributif yang diberikan kepada anggota masyarakat bermacam-macam meliputi, kecakapan, kesehatan, bakat, pengaruh, dll. Keadilan distributif berkaitan dengan beban-beban sosial, fungsi-fungsi dan kehormatan publik. Misalnya kepada masyarakat yang cakap diberikan menduduki fungsi publik sebagai dosen, yang sehat dan kuat diberikan menduduki fungsi sebagai tentara, yang berkebajikan sebagai hakim dan yang berwibawa sebagai pemimpin, tidak akan terjadi yang buta huruf sebagai guru dll, karena hal itu tidak proporsional.
Ketiga, keadilan vindikatif, yaitu keadilan yang memberikan masing-masing hukuman yang setimpal dengan kejahatan atau pelanggarannya. Masyarakat yang tentram damai memerlukan manusia yang baik dan manusia yang jahat harus di hukum agar tidak menjadi penyakit di masyarakat. Manusia jahat yang menjadi penyakit masyarakat akan selalu menghalangi kesejahteraan umum, dan cenderung dengan keserakahannya merampas hak dan nyawa orang lain dengan cara-cara kekerasan. Sifat manusia seperti itu tidak dapat diperbaiki dengan cara berbaik hati tetapi harus diberikan ganjaran yang setimpal bahwa apa yang ia lakukan sebenarnya sangat tidak mengenakkan orang lain, sehingga ketidak-enakkan itu harus juga ditimpakan kepadanya untuk dirasakan dengan menjalani hukuman. Hukuman yang setimpal atas perbuatan yang melanggar hukum khususnya berlaku dalam bidang hukum pidana disebut sebagai penerapan keadilan vindikatif.
Keempat, keadilan protektif yaitu memberikan pengayoman kepada masing-masing manusia pribadi dalam pergaulannya di masyarakat. Di dalam masyarakat manusia melakukan perhubungan satu sama lain, dan hukum harus tetap ada pada posisi memberikan perlindungan kepada siapapun tanpa membedakan antara satu manusia dengan manusia yang lain sebagai orang yang mempunyai hak-hak dan kewajiban. Keadilan protektif, mencegah perlakuan sewenang-wenang. Ketertiban untuk menuju kepada ketentraman selalu dijaga dan tidak ada di antara anggota masyarakat terutama penguasa boleh melaksanakan tekanan dan ancaman yang menghasilkan ketakutan.
Kelima, keadilan kreatif, yaitu keadilan yang memberikan kepada masing-masing suatu kebebasan untuk berkreasi. Kebebasan berkreasi meliputi melakukan karya dan karya cipta baik di bidang ilmu maupun di bidang seni. Seniman sangat menuntut keadilan ini, sebab dengan memberikan keadilan kreatif maka seniman akan dapat berkarya cipta, mementaskan berbagai pertunjukan dan aspirasi seni lainnya dalam rangka dan dalam tugas seni mengekspresikan masalah-masalah hukum, moral dan kemanusiaan kepada masyarakat melalui pesan-pesan keindahan.
Keenam, keadilan legalitas yaitu keadilan yang harus diberikan kepada siapapun oleh siapapun dan dengan cara apapun. Keadilan legalitas adalah keadilan yang diberikan oleh undang-undang (hukum positif) kepada siapapun dalam rangka kedamaian, ketentraman dan kesejahteraan masyarakat. Tujuan keaadilan legalitas adalah agar masyarakat teratur, hidup di bawah tata menuju kepada masyarakat yang tentram. Masyarakat yang taat kepada undang-undang akan dapat menciptakan ketentraman, begitu pula penguasa yang taat melaksanakan undang-undang akan menyebabkan terciptanya keadilan. Keadilan legalitas adalah untuk dilaksanakan oleh penguasa dan dituju oleh masyarakat. Tanpa ada ketaatan kepada undang-undang maka keadilan akan menjadi soal, dan kesejahteraan umum menjadi kemustahilan.
            Elemen memanusiakan manusia,  inti tujuan hukum adalah memanusiakan manusia. Tujuan hukum yang paling dalam dan paling esensi adalah memanusiakan manusia, menjaga agar manusia tetap diperlukan sebagai manusia. Dalam negara diktator, manusia diberlakukan seperti binatang, ditindas, diperalat, di-dehumanisasi. Sifat subyek dari manusia adalah sifat yang hakiki. Manusia itu memiliki “aku” yang tidak boleh di sewenang-wenangkan. Dan di pihak lain manusia memiliki relasi, yaitu relasi antara aku dan engkau. Sifat relasi ini menjadikan manusia ada dalam lingkup kemanusiaannya yang utuh, yaitu manusia dalam hubungannya dengan sesama, manusia dalam hubungannya alam semesta dan manusia dalam hubungannya dengan Sang Pencipta.
            Nonlitigasi, sebagai kebalikan dari litigasi (litigation/pengadilan) tugasnya (argumentum analogium) adalah juga sebagian besar untuk penyelesaian sengketa di luar pengadilan dengan melalui perdamaian (tentram damai) dan sebagian kecil tugasnya penangkalan sengketa dengan perancangan-perancangan kontrak yang baik. Artinya bahwa semua sengketa yang dapat diselesaikan tanpa melalui pengadilan atau penangkalan sengketa yang dapat diselesaikan tanpa melalui  pengadilan atau penangkalan sengketa yang dapat dilakukan dengan ikatan hukum tanpa melalui pengadilan adalah ketrampilan nonlitigasi. Penyelesaian sengketa atau penangkalan secara nonlitigasi meliputi bidang yang sangat luas bahkan mencakup seluruh aspek kehidupan yang dapat diselesaikan secara hukum. Perlu diketahui bahwa hukum bukan satu-satunya bentuk penyelesaian sengketa, terkadang dapat bahkan tidak jarang berbagai sengketa dapat diselesaikan dengan cara lain misalnya premanisme, debt collector, dan lai-lain dalam hal penagihan hutang dan hal tersebut tidak dapat digolongkan kepada penyelesaian secara nonlitigasi, karena penyelesaian seperti itu tidak didasarkan kepada hukum. Penyelesaian sengketa secara nonlitigasi adalah penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang didasarkan kepada hukum, dan penyelesaian tersebut dapat digolongkan kepada penyelesaian yang berkualitas tinggi, karena sengketa yang diselesaikan secara demikian akan dapat selesai tuntas tanpa meninggalkan sisa kebencian dan dendam. Orang dapat saja menyelesaikan masalah secara premanisme dan premanisme memperkosa nurani sehingga luka nurani menyisakan dendam, sebagai persolan dapat beanak pinak persoalan, yang di dalamnya tidak mustahil banyak berisi sengketa hukum baru. Pembalasan dengan kekerasan yang dilakukan oleh orang yang dipremanisme dapat menimbulkan perkelahian, pembunuhan, pemerkosaan yang merupakan sengketa hukum baru yang harus diselesaikan dengan hukum. Penyelesaian sengketa hukum secara non litigasi dengan cara-cara penerapan hukum dengan meyakinkan kepada para pihak bahwa hukum itu adalah cara yang paling bermoral dalam penyelesaian sengketa adalah penyelesaian yang dapat menuntaskan sengketa tanpa menyisakan dendam yang dapat menimbulkan kekacauan di masyarakat. Dengan demikian, penyelesaian sengketa atau penangkalan sengketa secara non litigasi, intinya penyelesaian masalah hukum, secara hukum dan nurani, sehingga di situ hukum dapat dimenangkan dan nurani orang juga tunduk untuk mentaati kesepakatan/perdamaian secara sukarela, tanpa ada yang merasa kalah. Demikian pentingnya ketrampilan nonlitigasi ini bagi petugas Polmas untuk menjamin terpeliharanya rasa aman, tertib dan tenteram dalam masyarakat, sehingga Polisi dan warga masyarakat menggalang kemitraan untuk memelihara dan menumbuhkembangkan pengelolaan keamanan dan ketertiban lingkungan. Kemitraan ini dilandasi oleh norma-norma sosial dan/atau kesepakatan-kesepakatan lokal dengan tetap mengindahkan peraturan-peraturan hukum positif yang berlaku dan menjunjung tinggi prinsip-prinsip hak asasi manusia dan kebebasan individu yang bertanggung jawab dalam kehidupan masyarakat yang demokratis. Dengan mengemban tugas pokok Polri memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum dan memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat, Polri selaku pengemban fungsi Polmas dapat mengadakan deteksi dini terhadap permasalahan yang muncul serta penangkalan sengketa yang mungkin timbul di masyarakat. Untuk itu betapa pentingnya Ketrampilan Nonlitigasi sebagai pengetahuan bagi aparat hukum. Faktor dominan untuk suksesnya Aplikasi Nonlitigasi harus didukung oleh faktor kepribadian dan penguasaan pengetahuan hukum.  
Pada faktor kepribadian, sulit mengharapkan tersambungnya dua nurani yang berkonflik kalau kepribadian masing-masing yang terlibat dalam aplikasi nonlitigasi belum matang, dan belum memahami masalah-masalah kemanusiaan. Seorang anak muda dengan emosi tinggi menerobos masalah dengan menggertak, mengancam, menandakan bahwa kepribadian yang seperti itu belum cukup siap untuk mengambil pekerjaan nonlitigasi. Sebab menggertak hasilnya pasti gertakan dan perasaan, sehingga ketidakmampuan mengendalikan emosi juga pertanda ketidakmatangan pribadi. Orang yang pribadinya tidak matang ditandai dengan penampilan yang tegang, menampakkan wajah marah, menggerutu, bahkan mencaci maki, menjadi sulit diterima oleh pihak lain dan di mata orang pandai, kualitas manusia seperti itu rendah dan kurang dihargai. Agar aplikasi nonlitigasi dapat mencapai hasil yang optimal, diperlukan adanya kematangan pribadi pada aplikatornya. Ada lima syarat untuk mencapai kematangan pribadi yaitu : a). pendidikan, b). prestasi, c). prestise, d). komunikasi, e).organisasi. Syarat pertama pendidikan, orang berpendidikan adalah orang berakal/intelektual. Akal adalah faktor dominan tingkah laku bermoral. Orang pandai tidak akan mau melakukan hal-hal yang tidak masuk akal, oleh karena hal-hal yang tidak masuk akal cenderung menipu. Tidak disangkal juga bahwa orang pandai juga pandai menipu. Akan tetapi, setidaknya orang yang intelek tidak akan tertipu, atau menipu orang lain dengan cara-cara di luar akal. Dengan akal yang prima, orang pandai itu dapat menyiasati dunia ini, sehingga kepandaian itu akhirnya mendapat perlindungan hukum terhadap segala hasil kepandaiannya. Orang yang bodoh mungkin merasa tertipu, tetapi pada akhirnya “legalize” nya adalah “wajar dia kaya, dihormati dan lain-lain, karena ia pandai”. Pendidikan menyebabkan orang menjadi pandai dan orang yang pandai dihargai oleh orang lain. Apabila kita sudah dihargai orang, maka orang cenderung menerima kita, oleh karena kepandaian atau akal adalah tolok ukur hukum dibuat hitung-hitungan moral, dimana manusia dapat menghitung dengan akalnya bahwa membunuh adalah merugikan orang lain dan keluarganya, menipu adalah merongrong hak milik orang lain, dimana penipu telah main akal-akalan, mengkhianati akal, dan yang tertipu kurang hati-hati, kurang memakai akalnya sehingga berhasil ditipu. Asumsinya adalah bahwa kepandaian, akal, pendidikan orang terdidik, adalah orang yang berakal, sebagai dasar moral, sehingga orang yang bermoral diterima orang lain. Aplikasi nonlitigasi modal pertamanya adalah aplikator harus memiliki pendidikan, dalam hal ini aplikasi nonlitigasi dapat dilakukan dengan baik oleh orang-orang yang memiliki pendidikan hukum. Syarat kedua prestasi, untuk dihargai dan diterima oleh orang lain, pendidikan saja tidak cukup, harus disertai dengan prestasi dibidangnya (bidang hukum) dan di bidang lain yang berkaitan dengan itu. Pendidikan hukum adalah syarat, tetapi apabila penguasaan terhadap hukum tidak baik dan bahkan juga tidak pernah bahwa ilmu hukum (ilmu yang mempelajari norma-norma penjaga moral) ada kaitannya dengan ilmu yang lain yang bersifat melengkapi pengetahuan moral, misalnya ilmu psikologi, sosiologi, dan lain-lain akan menyebabkan  aplikator nonlitigasi sebagai inti pendidikan minimal, sehingga rendahnya kualitas argumentasi, menyebabkan kita tidak dihargai dengan memadai. Pendidikan yang bagus, disertai dengan prestasi yang baik, melahirkan sosok manusia argumentatif dan dihargai serta diterima oleh orang lain, oleh karena ha-hal yang ia kemukakan masuk diakal. Syarat ketiga prestise, dalam aplikasi nonlitigasi, prestise pribadi harus dijaga, tidak jarang terjadi penerimaan pribadi kita oleh orang lain diawali oleh cara kita berpakaian, cara bertegur sapa, cara memandang orang lain, cara berbasa-basi dan kualitas harmonis yang kita pakai sebagai pembuka jalan. Banyak buku-buku psikologi menjelaskan tentang bagaimana tampil sebagai orang yang dihargai dengan tanda-tanda yang berharga dan diterima orang lain, misalnya menyapa orang terlebih dahulu, memanggil nama yang disukai, ketawa lebih lebar, hal itu merupakan salah satu ciri prestise yang menunjang/sebagai pembuka jalan untuk dapat diterima oleh orang lain sebagai jalan awal nonlitigasi. Syarat keempat organisasi, organisasi sebagai salah satu ciri, dimana orang-orang nomor satu di suatu organisasi sebagai orang yang dihargai, setidak-tidaknya oleh anggota organisasi  atau potensi berharga seseorang dimulai dari kepandaiannya dalam organisasi. Organisasi adalah langkah nyata untuk memasuki kualitas diri berharga sehingga dihargai oleh orang lain. Hendaknya kesukaan untuk berorganisasi dimulai atau jangan ditolak sebagai ciri harga diri dan dihargai orang lain. Keterampilan nonlitigasi ditunjang dengan kepandaian berorganisasi atau luasnya organisasi akan menjadi faktor penunjang kesuksesan aplikasi nonlitigasi. Jadi kualitas berorganisasi adalah kualitas pribadi yang dihargai untuk dapat lebih mudah berhubungan dengan orang lain. Syarat kelima komunikasi, komunikasi adalah faktor utama dalam aplikasi nonlitigasi. Kualitas komunikasi adalah kualitas nonlitigasi, semakin rendah kualitas kominikasi kita, semakin rendah memungkinkan dapat suksesnya aplikasi nonlitigasi. Bagaimana menjalin komunikasi yang lancar, tergantung pada diri dan prinsip-prinsip pribadi. Orang yang tertutup dan cepat tersinggung sulit mempertahankan jalur komunikasi, pula orang yang berbekal niat buruk, gerak-geriknya gampang terbaca dari trik-triknya yang menampakkan kepalsuan. Komunikasi harus didasari oleh hati yang tulus, tidak membicarakan kejelek-jelekan orang lain, sebab hal itu membongkar kedok bahwa kita adalah orang jelek, sebab orang baik tidak akan menjelekkan orang lain. Permusuhan, iri, dengki yang dibiasakan dalam hidup akan menghambat komunikasi, oleh karena kedengkian selalu tampak dalam tutur kata yang orang lain akan menghindari diri kita, karena takut menjadi korban berikutnya. Komunikasi yang berhasil harus diawali dengan rasa simpati, dan diselami dengan empati, sehingga apa yang kita ucapkan tepat mengenai pada situasi sosial yang kita ajak komunikasi, yang menyebabkan kita diterima. Komunikasi yang wajar dan terpelajar, universal dapat diterima. Terlalu merendah, penuh basa-basi, dapat menimbulkan was-was pada orang lain yang berimbas kekhawatiran dan takut terhadap penolakan. Dalam komunikasi seluruh peluang harus di buka, baik peluang ditolak maupun diterima sehingga pihak lain dapat menerima tanpa ada rasa terpaksa karena khawatir ada kekecewaan yang menjadi hasilnya. Memuji-muji secara berlebihan juga tidak dapat diharapkan akan menjadi pembuka jalan komunikasi yang baik, sebab apa yang ada dibalik pujian akan menjadi sosok hambatan. Rasa persaudaraan dan menyukai orang lain secara tulus jauh lebih menolong, karena hambatan curiga dan was-was tidak mempunyai dasar disitu. Disamping lima hal seperti disebutkan diatas perlu diperhatikan dalam peningkatan kualitas kepribadian, maka segi-segi moral dan kebajikan dan pembinaan kepribadian. Keterampilan nonlitigasi bukanlah keterampilan fisik melainkan ketrerampilan akal berhubungan dengan nurani. Apabila hukum sudah ditaati, orang tidak melanggar norma hukum, maka disitu moral sudah dapat dijaga. Berbeda dengan nurani jika bekerja sistematik dengan kehidupan akan melahirkan kebajikan. Orang yang baik adalah orang yang hati (akal) dan nuraninya bersih. Jadi, bekerjanya secara harmonis antara akal dan budi adalah kearifan dan kikijakan. Aplikasi nonlitigasi ada dalam posisi hati dan nurani secara harmonis. Hati, moral, hukum adalah intelektualitas kalau dijalankan atau dilanggar, maka penyelesaiannya dapat “hitam-putih”. Akan tetapi jika nurani ikut diperankan, itulah peran nonlitigasi, dimana penyelesaian masalah menjadi tuntas, tidak saja menyenangkan hati, tetapi juga tidak melukai nurani.
Faktor penguasaan pengetahuan hukum, agar sukses dapat dicapai dalam aplikasi nonlitigasi, orang pertama-tama harus berbekalkan kualitas kepribadian (kematangan pribadi), sehingga kepribadian yang baik diterima orang dan yang kedua penguasaan pengetahuan hukum, karena dengan penguasaan pengetahuan hukum, penyelesaian secara nonlitigasi adalah sah. Aplikator nonlitigasi minimal harus menguasai bidang-bidang pokok hukum materiil (hukum perdata, pidana, tata negara) dan bidang hukum formil (hukum acara perdata, acara pidana, hukum acara tata negara). Tanpa penguasaan hukum, aplikasi nonlitigasi mustahil. Dalam aplikasi nonlitigasi, hukum dipakai patokan, akan tetapi pelaksanaannya disesuaikan dengan kehendak para pihak, agar para pihak merasa puas dengan penyelesaian seperti itu.
Adapun beberapa dasar hukum dari ketrampilan nonlitigasi adalah pasal 13 dan 14 HIR, perdamaian atas sengketa kecil-kecil di Desa oleh Kepala Desa. Pasal 13 (1) HIR berbunyi “Kepala Desa hendaklah berikhtiar supaya penduduk Desanya tetap tenteram dan rukun dan menjauhkan segala sesuatu yang dapat menyebabkan perselisihan dan perbantahan”. (2). “Perselisihan kecil-kecil yang semata-mata menyangkut kepentingan-kepentingan penduduk Desa saja, sedapat-dapatnya hendaknya diperdamaikannya dengan tidak berpihak dan dengan mufakat orang tua-tua desa itu”. Pasal 14 HIR berbunyi “jika orang-orang berselisih itu tidak dapat didamaikan atau jika perselisihan itu begitu penting, kepala desa hendaknya mengirim kedua belah pihak itu kepada distrik”. Ketentuan diatas begitu penting untuk aplikasi nonlitigasi oleh kepala desa demi tujuan hukum, yaitu masyarakat yang tenteram dan damai. Bagi Polmas FKPM adalah wadah yang tepat untuk menyelesaikan sengketa nonlitigasi. Pada Undang Undang No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, dalam pasal 1 (10) ditentukan bahwa “penyelesaian sengketa alternatif adalah penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati oleh para pihak yakni penyelesaian di luar Pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, konsiliasi atau penilaian ahli”. Termasuk dalam hal tindak pidana yang pengecualiannya adalah tindak pidana aduan (delik aduan) yakni tindak pidana yang terjadi dalam keluarga, apakah selain itu dapat diselesaikan dengan nonlitigasi? Dalam praktiknya dilapangan banyak hal yang dapat diselesaikan di luar pengadilan secara nonlitigasi. Contohnya perebutan hak warisan tanah, disertai dengan penyerobotan mengakibatkan si penyerobot diancam pidana, dan pada saat itu baru tumbuh kesadarannya untuk berbagi rata, dan pihak ahli waris yang lain berupaya melepaskan saudaranya dari ancaman pidana. Perdamaian itu bersifat membuka kesempatan nonlitigasi bagi para pihak demi manfaat hukum dan tujuan hukum (tenteram dan damai). Polmas dalam hal ini mempunyai peran yang penting bagi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat yang pada akhirnya tercapainya tujuan hukum pada perspektif kebudayaan di tingkat nilai tata dan keadilan, pada tingkat makna ketenteraman dan kedamaian serta pada tingkat martabat kemanusiaan dan kehidupan.
Untuk dapat mencapai target yang diharapkan dalam penerapan teknik ADR ini memang tidak ada rumus yang ideal dan baku. Semuanya dikembalikan kepada kemampuan negosiasi dari pendamping yang memberikan advokasi pada saat peristiwa terjadi. Secara keilmuan dapat dikemukakan beberapa teknik negosiasi.
1.    Teknik reason atau nalar, yakni negosiasi dengan menggunakan fakta-fakta dan data untuk disajikan sebagai bahan dialog secara logis serta rasional untuk mempengaruhi pihak lawan.
2.    Teknik friendlines atau keramahtamahan, yaitu dengan pola pendekatan sikap yang ramah, kemauan baik, merendahkan diri dan bertindak lembut dengan harapan pihak lawan dapat menerima gagasan-gagasan atau pemecahan yang ditawarkan.
3.    Teknik coalition atau koalisi merupakan teknik negosiasi yang mengandalkan dukungan orang atau lembaga lain guna menunjang keberhasilan yang diharapkan.
4.    Teknik bargaining atau tawar-menawar, adalah teknik negosiasi yang lebih mengedepankan pertukaran keuntungan dari kedua belah pihak yang terlibat konflik sehingga masing-masing pihak merasakan kemenangan.
5.    Teknik higher authority atau otoritas atasan yang dapat dipahami sebagai teknik negosiasi yang lebih mengandalkan kekuasaan dan kewenangan atasan dari pihak lawan, dengan demikian, tidak ada alasan baginya untuk mengelak dari model/macam solusi yang ditawarkan.
6.    Teknik assertiveness atau mempertahankan hak, teknik ini sebenarnya tidak dapat disebut sebagai teknik negosiasi karena yang dikedepankan adalah kekuatan dan paksaan langsung terhadap pihak lawan agar patuh dan menuruti kehendak kita.
Beberapa langkah negosiasi yang tidak efektif berikut ini merupakan pemahaman yang diharapkan dapat menjadi self control atau kewaspadaan ketika melakukan negosiasi dengan pihak lawan.
1.    Teknik compromise atau kompromi, yaitu teknik negosiasi yang terlalu berlebihan dalam menerima tawaran pihak lawan sehingga lebih banyak mengorbankan sekaligus merugikan diri sendiri.
2.    Teknik missionary atau keharmonisan merupakan teknik negosiasi yang lebih mengutamakan situasi keharmonisan hubungan sehingga melupakan nilai-nilai kebenaran yang diperjuangkan.
3.    Teknik autocrat atau tidak mudah percaya, adalah teknik negosiasi yang dilatarbelakangi rasa tidak percaya atau kecurigaan secara berlebihan terhadap pihak lawan sehingga masalah yang diupayakan pemecahannya menjadi sulit terwujud.
Kegagalan negosiasi disebabkan oleh kelemahan faktor SDM (sumber daya manusia), itulah sebabnya diperlukan pelatihan-pelatihan khusus dalam rangka mengembangkan potensi dan kemampuan negosiasi yang perlu ditumbuhkembangkan tidak sekadar kemampuan berkomunikasi, tetapi juga keahlian berdiplomasi, retorika bahasa, dan ilmu logika. Berikutnya mengenai kemampuan penguasaan materi negosiasi yang dispesialisasikan karena kemampuan orang biasanya terbatas, meski ada saja yang relatif menguasai semuanya.
Perlu dipahami bahwa kebanyakan aparat hukum yang kita hadapi adalah orang-orang yang pikirannya sudah terpola sehingga alur pikirannya dapat disebut “garis lurus” yang disesuaikan dengan kebijakan umum dari atasannya, itu berarti bahwa untuk dapat mencapai target yang diharapkan diperlukan seseorang yang memiliki kemampuan lebih tidak terbatas pada paham ilmu negosiasi tetapi harus lebih dari itu yakni memiliki kreatifitas dan ahli menyiasati situasi.
Pada hakikatnya, seorang negosiator adalah seorang pemimpin yang berarti pula harus memiliki pengaruh atas diri orang atau kelompok lain. Selain mampu berkomunikasi secara efektif juga memiliki kewibawaan sebagai seorang pemimpin. Dengan demikian seorang negosiator tidak boleh tampil apa adanya, seperti berpakaian ala preman supaya memberikan kesan menakutkan, atau hanya bersandal jepit agar lebih dikasihani pihak lawan.
Perlu diingat, “bila diam dalam suatu proses negosiasi, berarti kita harus siap dikalahkan, namun bila kita banyak bicara dalam proses negosiasi, maka kita harus siap dikendalikan”. Selamat membaca semoga bermanfaat!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar